Rabu, Desember 16, 2009

SABDA SABDA BUDHA GAUTAMA

http://www.samaggi-phala.or.id
http://www.dhammapada.org

Kamis, November 19, 2009

Kesadaran

Dengan kesadarannya, Dewa Sakka "Maghava adalah nama lain dari sakka,
raja para dewa [=Deva, makhluk hidup
yang memiliki badan halus)"
menjadi pemimpin para dewa. Kesadaran senantiasa di puji,
seperti kelengahan akan selalu di tercela. (30)


Bhikkhu yang merasa gembira dalam kesadaran,
dan memandang kelengahan dengan rasa takut,
akan maju terus seperti api yang membakar
semua ikatan, besar dan kecil. (31)


Bhikkhu yang merasa gembira dalam kesadaran,
dan memandang kelengahan dengan rasa takut,
tak akan terperosok lagi. Ia telah berada
di ambang Nibanna. (32)

Kesadaran

Dengan upaya, kesungguhan, disiplin dan
pengendalian diri, orang bijaksana membuat pulau
bagi dirinya sendiri yang tidak dapat tenggelam
oleh banjir "(Orang Bijaksana yang telah mencapai
pandangan terang [menjadi Arahat],
membuat pulau yang melindungi dirinya
dari banjir kesenangan indria, pandangan
salah, keinginan untuk terlahir kembali
{bhava-tanha}, dan kebodohan).
(25)

Orang dungu terlena dalam kelengahan,
tapi orang bijaksana menjaga kesadarannya
sebagai harta yang paling berharga. (26)

Jangan terlena dalam kelengahan, jangan terjerat
oleh kesenangan-kesenangan indria. Orang yang
penuh kesadaran dan tekun bermeditasi,
akan berlimpah kebahagiaan. (27)


Ketika orang bijaksana menyingkirkan kelengahan
dengan arif, orang yang telah bebas dari penderitaan
ini akan mencapai menara kebijaksanaan,
darimana ia memandang orang-orang di bawahnya,
seperti orang memandang lembah dari
puncak sebuah gunung. (28)

Sadar di antara yang lengah, berjaga di antara
yang mengantuk. Orang bijaksana maju terus,
seperti seekor kuda pacuan berlari
meninggalkan kuda tua di belakangnya. (29)

Selasa, November 03, 2009

BAB II

KESADARAN "( 'Appadama' - Sukar sekali mencari padanan kata yang tepat untuk istilah ini,
di sini di artikan sebagai suatu keadaan penuh perhatian dalam melakukan
sesuatu (kebajikan).


Kesadaran itu jalan menuju kekekalan,
kelengahan adalah jalan kehancuran.
Yang sadar tidak akan mati, tapi yang lengah seakan-akan
telah mati "('Amata' = kekekalan (Nibana). Yang di maksud
tidak akan mati adalah, bila seseorang telah mencapai Nibanna,
ia tidak akan terlahir kembali yang dengan sendirinya :
tidak akan mengalami kematian lagi)" (21)


Mengerti (perbedaan) ini dengan jelas,
orang bijaksana akan berbahagia dalam kesadaran,
dan menikmati jalan kehidupan para Ariya. (22)

Orang bijaksana yang senantiasa berupaya, ulet,
dan tekun bermeditasi, akan mencapai Nibanna,
bebas dari segala ikatan,
suatu Kebahagiaan Tertinggi. (23)

makin bertambahlah kemuliaan orang yang
senantiasa hidup penuh semangat, waspada,
bertindak bajik, dan bijaksana, mampu
mengendalikan diri, menempuh Kehidupan benar,
dan penuh kesadaran. (24)

Syair syair kembar

Di sini ia berbahagia, begitu pula di alam berikutnya.
pembuat kebajikan berbahagia di kedua alam,
terlebih lagi setelah melihat hasil perbuatan baiknya. (16)

Di sini ia bersedih, begitu pula di alam berikutnya.
Pembuat kejahatan bersedih-hati di kedua alam.
Ia bersedih mengingat kejahatan yang telah
di lakukannya, terlebih lagi setelah jatuh
kedalam penderitaan. (17)

Di sini ia bergembira, begitu pula di alam berikutnya.
Pembuat kebajikan bergembira di kedua alam.
ia bergembira mengingat kebajikan
yang telah di lakukannya, terlebih lagi
setelah ia mengecap kebahagiaan. (18)

Orang yang meskipun banyak membaca kitab suci,
tapi tidak berbuat sesuai Ajaran, seperti gembala
yang menghitung sapi milik orang lain,
tidak akan beroleh manfaat Kehidupan suci. (19)

Orang yang meskipun sedikit membaca kitab suci,
tapi berbuat sesuai Ajaran, menyingkirkan nafsu,
kebencian, dan kebodohan, memiliki Pengetahuan
benar, batin yang bebas, dan tidak terikat pada
kehidupan sekarang maupun yang akan datang;
akan beroleh manfaat Kehidupan suci. (20)
Sesungguhnya ia yang telah membuang segala noda,
berkelakuan baik, di berkahi pengendalian diri dan
Kebenaran, yang layak mengenakan jubah kuning. (10)

mereka yang membayangkan ketidakbenaran
sebagai kebenaran "(berkenaan dengan 'pandangan salah'
dan 'pandangan benar')".
dan menganggap kebenaran sebagai ketidak benaran,
mendasarkan dirinya pada pikiran keliru dan tak pernah dapat
melihat kesunyataan. (11)

Tapi mereka yang mengetahui Kebenaran sebagai Kebenaran,
dan ketidak benaran sebagai ketidak benaran,- mendasarkan
dirinya pada pikiran benar sehingga dapat melihat kesunyataan. (12)

Seperti hujan menembus rumah beratap tiris,
begitulah nafsu dengan mudah masuk kedalam
pikiran yang tidak terlatih. (13)


Seperti hujan tidak dapat menembus rumah beratap
kuat, begitulah nafsu tak kuasa merasuk kedalam
pikiran yang terlatih. (14)

Di sini ia menderita, begitu pula di alam berikutnya.
Pembuatan kejahatan menderita di kedua alam, dan
merana melihat hasil perbuatan buruknya. (15)

Minggu, November 01, 2009

DHAMMAPADA (SABDA-SABDA BUDHA GOTAMA )

BAB I

YAMAKA VAGGA (SYAIR - SYAIR KEMBAR)

Segala perbuatan "kamma" (dalam hal ini karma buruk)
di dahului oleh pikiran, di pimpin oleh pikiran, dan
di hasilkan oleh pikiran. Bila seseorang bicara atau berbuat
dengan pikiran tidak suci, penderitaan pun akan mengikuti,
seperti roda pedati mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya. (1)

Kisah Cakkhupala Thera

Suatu hari, Cakkhupala Thera berkunjung ke Vihara Jetavana untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Malamnya, saat melakukan meditasi jalan kaki, sang thera tanpa sengaja menginjak banyak serangga sehingga mati. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali serombongan bhikkhu yang mendengar kedatangan sang thera bermaksud mengujunginya. Di tengah jalan, di dekat tempat sang thera menginap mereka melihat banyak serangga yang mati.

"Iiih..., mengapa banyak serangga yang mati di sini?" seru seorang bhikkhu. "Aah, jangan jangan...", celetuk yang lain. "Jangan-jangan apa?" sergah beberapa bhikkhu. "Jangan-jangan ini perbuatan sang thera!" jawabnya. "Kok bisa begitu?" tanya yang lain lagi. "Begini, sebelum sang thera berdiam disini, tak ada kejadian seperti ini. Mungkin sang thera terganggu oleh serangga-serangga itu. Karena jengkelnya ia membunuhinya."

"Itu berarti ia melanggar vinaya, maka perlu kita laporkan kepada Sang Buddha!" seru beberapa bhikkhu. "Benar, mari kita laporkan kepada Sang Buddha, bahwa Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya", timpal sebagian besar dari bhikkhu tersebut.

Alih-alih dari mengunjungi sang thera, para bhikkhu itu berubah haluan, berbondong-bondong menghadap Sang Buddha untuk melaporkan temuan mereka, bahwa "Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya!"

Mendengar laporan para bhikkhu, Sang Buddha bertanya, "Para bhante, apakah kalian telah melihat sendiri pembunuhan itu?"

"Tidak bhante", jawab mereka serempak.

Sang Buddha kemudian menjawab, "Kalian tidak melihatnya, demikian pula Cakkhupala Thera juga tidak melihat serangga-serangga itu, karena matanya buta. Selain itu Cakkhupala Thera telah mencapai kesucian arahat. Ia telah tidak mempunyai kehendak untuk membunuh."

"Bagaimana seorang yang telah mencapai arahat tetapi matanya buta?" tanya beberapa bhikkhu.

Maka Sang Buddha menceritakan kisah di bawah ini:

Pada kehidupan lampau, Cakkhupala pernah terlahir sebagai seorang tabib yang handal. Suatu ketika datang seorang wanita miskin. "Tuan, tolong sembuhkanlah penyakit mata saya ini. Karena miskin, saya tak bisa membayar pertolongan tuan dengan uang. Tetapi, apabila sembuh, saya berjanji dengan anak-anak saya akan menjadi pembantu tuan", pinta wanita itu. Permintaan itu disanggupi oleh sang tabib.

Perlahan-lahan penyakit mata yang parah itu mulai sembuh. Sebaliknya, wanita itu menjadi ketakutan, apabila penyakit matanya sembuh, ia dan anak-anaknya akan terikat menjadi pembantu tabib itu. Dengan marah-marah ia berbohong kepada sang tabib, bahwa sakit matanya bukannya sembuh, malahan bertambah parah.

Setelah diperiksa dengan cermat, sang tabib tahu bahwa wanita miskin itu telah berbohong kepadanya. Tabib itu menjadi tersinggung dan marah, tetapi tidak diperlihatkan kepada wanita itu. "Oh, kalau begitu akan kuganti obatmu", demikian jawabnya. "Nantikan pembalasanku!" serunya dalam hati. Benar, akhirnya wanita itu menjadi buta total karena pembalasan sang tabib.

Sebagai akibat dari perbuatan jahatnya, tabib itu telah kehilangan penglihatannya pada banyak kehidupan selanjutnya.

Mengakhiri ceritanya, Sang Buddha kemudian membabarkan syair di bawah ini:

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu,
pikiran adalah pemimpin,
pikiran adalah pembentuk.
Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat,
maka penderitaan akan mengikutinya,
bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, di antara para bhikkhu yang hadir ada yang terbuka mata batinnya dan mencapai tingkat kesucian arahat dengan mempunyai kemampuan batin analitis 'Pandangan Terang' (pati-sambhida).